Senin, 01 Juli 2019

Tokek

Aku banyak bercerita pagi ini, pada tokek yang menanti mangsa dalam ketenangan.
Kulihat dia tertawa geli, mengembangkan senyum bibirku saat tahu ia menertawakanku.
Jangan katakan aku akan malu, urat syaraf itu sudah putus beberapa tahun lalu.
Tahun-tahun saat kebahagiaanku hanya sebatas melihatmu melenggang didepan mataku, mungkin sampai sekarang.

Oh... Aku lupa harus meminta maaf, karena sibuk menghitung suara tokek.
Maaf untuk seringnya aku membawamu kedalam mimpi.
Maaf untuk rasa yang tidak pernah terucapkan.
Maaf karena ku lebih memilih bercerita pada tokek dan tidak membiarkanmu tahu hatiku.

Biarlah tokek yang akan membawa kabar untukmu.
Kabar betapa aku masih ingin memimpikanmu.
Kabar bahwa egoku ingin milikimu.
Kabar bahwa setiap kau dengar tokek bersuara, itulah ungkapan cintaku untukmu.

AkbArt
23 Januari 2019

Selasa, 18 Desember 2018

Rindu; lagi.


Hati ini masih hati yang sama dengan 6 tahun yang lalu, bahkan sejak aku terlahir.
Pembeda terletak pada rasa yang menyelimutinya, rasa yang berperan atas penyaring darah untuk kemudian dialirkan.

Beberapa malam wajahmu kembali singgahi mimpi, hanya sebagai bunga tidur.
Menyulut lagi lilin yang beberapa tahun sudah padam.
Iya, aku yang memadamkan.

Terlalu berlebihan kalau harus menggunakan Fire Hydrant, mengingat api yang berkobar hanya sebesar kuku jari.
Kobaran yang jauh lebih kecil dari saat kebersamaan kita.

Oh... Aku hanya sekedar menegur, tidak untuk menggandeng.
Bertemu di perempatan bukan sebuah kesengajaan, kan?

Bolehlah sesekali kita merasa ingin kembali bertemu satu sama lain, rasa yang wajar sebagai orang yang pernah berjalan berdampingan.
Kamu tahu? Aku malu kalau harus mengakui bahwa aku.... Rindu; lagi.

Senin, 20 Juni 2016

Harapan yang Tenggelam



Harapan yang Tenggelam
Karya : Muhamad Akbar
Pukul 19.53.
Bau anyir darah mengiringi langkahku kembali ke markas, beberapa korban luka memenuhi tenda pengobatan, mayat-mayat masih tergeletak tidak terurus. Sebagai seorang pemimpin perang, aku merasa telah gagal membawa pasukanku menuju kemenangan. Rintih kesedihan, tangis kehilangan, seakan menjadi nada penghantar tidur. Jerit ketakutan menambah pilu malam ini. hari semakin larut, aku masih terjaga dengan  kertas dan senjata.
“Abang,.. boleh aku masuk?” gadis perawat yang juga adalah adikku menyadarkan lamunan pedih ini. “masuklah”, Alfi berdiri disamping tempat dudukku. “Abang, sampai kapan perang ini akan berlanjut?” pertanyaannya membekukan gerakku, “entahlah,” aku hanya mampu tertunduk. “harus berapa banyak korban lagi Bang? Harus berapa banyak kaki yang patah? Harus berapa banyak peluru yang bersarang di tubuh? Harus berapa banyak nyawa yang hilang Bang?”, “ENTAHLAH!!! Aku sendiri tidak mau terus seperti ini, aku juga ingin perang ini segera berakhir!” teriakanku mengagetkan Alfi. Raut wajahnya berubah seketika.
“Alfi, maafkan Abang, Abang tidak bermaksut membuatmu ketakutan.” Tanpa berucap, Alfi memelukku erat sambil menangis. “Bang, sudah! Cukup Bang, jangan ada lagi nyawa yang harus di korbankan. Kematian Ayah dan Ibu sudah sangat menyakitkan. Aku tidak mau lagi kehilangan saudara dan teman-teman kita Bang. Aku mohon, Bang! Akhiri saja peperangan ini. Hanya Abang satu-satunya keluargaku, dan aku tidak mau Abang mati dalam peperangan.” Bibirku terkunci mendengar perkataan Alfi, seakan petir menyambar di dalam hatiku. Aku melepaskan pelukan dan menyeka airmatanya. “Alfi, tidurlah! Biarkan Abang sendiri”.
Pukul 22.56
Secangkir kopi yang mulai dingin menemaniku melewati malam. Kuhisap dalam-dalam lintingan tembakau dan menghembuskannya keatas. Tanpa aku sadari airmata menetes membelai pipiku, rasa sesak memenuhi dadaku. “kehilangan sesuatu?” suara parau itu menghentikan isakkku, aku menarik napas panjang untuk mengendurkan dada. “banyak”, sahutku. Rian menarik sebuah koper, mendekatiku dan mendudukinya. “kawan, sudah sekitar 13 purnama aku tidak melihat senyuman dari bibirmu. Apa yang menghambatnya?” ku ubah posisi dudukku menghadap Rian. “alasan yang sama yang membuatmu berada di tempat ini”. Rian terkekeh.
Aku menunggu hingga tawanya memudar. Dalam situasi seperti ini, kau mentertawakan apa? Kematian saudara-saudaramu?” nada bicaraku sedikit meninggi. Rian menghentikan tawanya, ia bergerak mendekatiku dan berbisik, “kau!”. Aku melayangkan kepalan tanganku tepat diwajahnya secara spontan. Rian semakin terbahak menerima perlakuanku. “akurasa peperangan ini sudah membuatmu gila, Rian!”, mencoba berdiri Rian lantas berteriak “Kau yang gila, Anto! Berbulan-bulan kau membuat kami terjebak dalam peperangan ini, berbulan-bulan kau memaksakan diri untuk membuat strategi yang sia-sia, tapi apa hasilnya? Kau hanya menyerahkan nyawa saudara-saudara kita satu-persatu!”, seluruh tubuhku lemas mendengar ucapan Rian, bahkan kakiku tidak mampu menahan berat tubuhku hingga aku jatuh bersimpuh.
“kau tidak sendiri, Anto! Ini bukan peperanganmu. Aku tahu kau pemimpin dalam peperangan ini, tapi bukan berarti kau lakukan semuanya sendiri. Lalu kau anggap apa kami? Tumbal?” Rian kembali duduk di atas koper, melihat rancangan strategi buatanku yang masih kacau. Ia kembali tertawa. Sambil menatapku, ia melangkah keluar dari tenda. Mungkin membiarkanku sendiri adalah pilihan terbaik baginya.
Keterpurukan semakin menghantui, tangispun tidak terbendung lagi. Dengan sendu yang semakin menjadi, aku menguatkan diri untuk bangun. Pikiranku semakin kacau, Alfi, adikku yang memintaku mengakhiri peperangan ini. Rian, sahabatku yang mentertawakanku, dan orang-orang yang menaruh harapannya padaku. Malamku diliputi kecemasan, lolongan anjing dan suara angin mulai menyesakkanku. Batang demi batang tembakau kuhisap, berharap muncul strategi yang dapat membawa saudara-saudaraku menuju ketentraman. “ah…BANGSAT! Bahkan untuk bertahanpun sulit.” Kalimat yang terlontar dari Alfi dan Rian terus terngiang dalam kepalaku.
Pukul 01.19
Ditengah keputus asaanku, aku ingat akan kebesaran Tuhan. Aku mulai menengadahkan tangan dan bersimpuh. “Tuhan, berikanlah petunjuk untukku yang mulai tersesat ini, aku menyerahkan seluruh hidupku pada-Mu Tuhan. Aku sadari, aku sering melupakan hadir-Mu meski Engkau memelukku di setiap hembusan nafasku. Tuhan, aku tidak sanggup menerima segala beban dan tanggung jawab yang dilimpahkan padaku. Aku sendiri Tuhan. Jika memang Engkau merestui aku menjadi pemimpin, berikanlah keajaiban untuk kami. Namun jika aku bukanlah pemimpin yang baik bagi mereka, ijinkan aku membawa mereka kembali dengan selamat, Tuhan. Engkau yang menciptakanku dan kepadamulah aku akan kembali.” Airmataku kembali menetes, ku usapkan telapak tanganku kewajah mengakhiri rintihan doaku.
“Kami bersamamu, Anto!” Rian dan beberapa orang berdiri di depan pintu tenda. mereka berempat masuk, dua diantaranya memapahku untuk berdiri. “terkadang seorang pemimpin butuh saran dari prajuritnya” Raka menyeletuk, membelalakkan mataku. Sesuatu yang bahkan tidak bisa aku pahami sebagai pemimpin. “kami tidak akan meninggalkanmu sendirian, kami akan selalu setia menemanimu dalam keadaan apapun” Dani menambahkan. “aku rasa lima otak yang berfikir jauh lebih baik daripada satu” Yusuf menjawab semua pertanyaan yang ada di kepalaku. “Inilah yang aku maksudkan. Berapa kalipun kau memukul wajahku, jika kau sendiri tidak akan berarti apapun. Aku membawa mereka untuk membantumu berpikir, Raka ahli dalam membuat strategi, Dani kepala persenjataan, dia yang memegang data seberapa banyak sisa persenjataan yang mampu kita gunakan, dan Yusuf, dia pernah belajar tentang emosi kejiwaan manusia. Dia yang akan menahan segala macam bentuk amarah yang akan menghancurkan kita.”
Tuhan mendengarkan doaku,  bantuan yang selama ini tidak aku sadari keberadaannya muncul di saat yang tepat. Dengan sigap Raka mengambil beberapa kertas dan mulai membuat sketsa strategi, ia menjelaskan panjang lebar kepada kami. Ternyata diam-diam Raka mengamati pola pertempuran lawan. Bahkan hal sekecil itupun tidak pernah aku sadari. Mungkin karena itulah peperangan yang aku pimpin selalu mengalami kekalahan.
Pukul 05.43
Harapan mulai muncul, airmataku kembali tumpah menyesali kecerobohanku selama ini. Pendapat demi pendapat silih berganti terlontar dari mulut kami. Sedikit perdebatan mewarnai rapat pertama sejak aku terpilih menjadi pemimpin. Tidak jarang Yusuf memberikan treatment untuk menenangkan emosiku, mungkin karena aku terlalu bersemangat sehingga yang muncul adalah ambisi dan egoisme. Menurut Yusuf, ambisi tidak akan membuat seseorang berpikir dengan jernih, justru akan banyak kesalahan yang timbul akibat berambisi. Beberapa jam berlalu dengan hasil yang menjanjikan, kami bergegas membangunkan orang-orang dan bersiap mengawali serangan. Kali ini Rian yang mengkoordinasi seluruh pasukan di bawah pimpinanku.
Aku berlutut dan bersujud mengucap terimakasih kepada Tuhan yang telah memberikan bantuan. Alfi menghampiriku, membangunkanku dari sujud syukurku. “Abang!”, “Alfi, kali ini Abang akan membawamu dan saudara-saudara kita pulang. Doakan abang berhasil untuk kali ini” sambil memegang tangan Alfi, aku menghadap ke langit “Tuhan, ijinkan aku menjadi pemimpin yang baik untuk mereka”, Rian mengakhiri koordinasinya kepada seluruh pasukan. Sedangkan aku pamit kepada Alfi.
Tujuan kami menjadi satu. Dengan semangat yang membara dan kepercayaan orang-orang padaku, aku yakin mampu membawa mereka menuju kemenangan untuk peperangan kali ini. Kami berlarian menuju markas lawan, beberapa orang sedikit mengendap melindungi pasukan terdepan. Letupan senjata dan gema ledakan geranat yang kami lontarkan memporak porandakan markas lawan. Aku semakin yakin akan kemenangan yang ada di depan mata. Tentara lawan berlarian keluar, beberapa dari mereka terhempas karena ledakan, ada juga yang terhujam lemparan bambu runcing dari kami.
Tidak ada perlawanan dari musuh, serangan kami hentikan dengan satu komando, perlahan kami semua mengepung markas musuh, mengendap dari satu tenda ke tenda lain.. “SIALAN! INI PERANGKAP!” Raka berteriak dari dalam sebuah gudang senjata dan berlari keluar. Belum jauh Raka berlari, gudang senjata itu meledak menghempaskan tubuh Raka. Semua pasukan tercengang. Letupan senjata kembali terdengar dari luar markas, peluru-peluru ganas menembus tubuh bertubi-tubi. Ledakan demi ledakan menghempaskan pasukan kami. Aku tidak mampu berbuat apapun, kakiku lemas, yang kulihat hanya tubuh yang berjatuhan bak hujan mayat. Beberapa kali tubuhku terkena tembakan, aku jatuh tersungkur.
Masih dengan kesadaran menahan sakit, aku merasakan ada yang menarik tubuhku dan membawaku ke tepi jurang yang tidak jauh dari tempat peperangan, beberapa kali badanku diombang-ambing sebelum akhirnya tubuhku dibuang dengan geranat yang siap meledak di dalam bajuku. Belum sempat tubuhku menyentuh tanah, aku melihat kilatan cahaya dari dalam bajuku. Geranat itu meledak tepat di atas uluhatiku. Aku tidak mampu merasakan tubuhku.
Hingga aku benar-benar terhempas dari tempat di mana aku tertidur. Mataku terbelalak menyadari semua yang aku alami tadi hanya mimpi. Peperangan yang sebenarnya belumlah benar-benar terjadi. Mejaku masih berantakan dengan beberapa peralatan, setidaknya aku tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini.

BERMAIN.

Mentari pagi ini enggan menyapa, entah, karena malu atau dia sedang terluka! Yang aku tahu, kemarin aku bercengkrama dengan rembulan, dan bintang-bintang melontarkan sepercik lelucon kehidupan. Bahkan tak sedikit kami menyinggung tingkah konyol mentari.
Mungkin dia sedang marah padaku, karena beberapa hari aku sibuk menata laku, langkah, dan memang sesekali aku berkutat di lubang hitam, tempat pembuangan masalalu yang menjadikanku seperti ini.
Dulu, sebelum aku mengenal sebuah kata, aku tak mampu berucap. Bahkan kata Aku tak mampu mewakili keseluruhan diriku. Ya… jujur aku berkata! Sampai saat ini pun aku masih mencari. Kata Aku… sebuah kata yang akan segera lenyap sebelum mulutku sempat mengucap kata selain Aku.
Perbandingan dari keseluruhan diriku adalah Aku. Aku dan apa yang ada dalam diriku tak akan mampu sebanding dengan setetes, sepercik, bahkan hanya setitikpun tak akan sebanding. Apalagi untuk menjadi butiran-butiran kecil yang mampu menggenangi mata.
Terkadang tak harus mencari bahan lelucon, melihat diri sendiri pun aku tertawa. Bermain, atau di permainkan! Tak ada pembeda yang jelas dari dua kata itu. Bahkan setelah mengenal aksara, aku hanya tahu kata Mata, tanpa tau cara menggunakannya.
Saat aku mencium aroma tanah, aku merasakan kesedihan langit yang tak jarang membawa petaka dalam setiap ketenangannya. Aku memahami, usiaku tak ada seujung kuku jari dunia yang telah rapuh ini. Namun senja mengajarkanku bagaimana cara menikmati sisa umurku.
Celoteh konyol seorang sastrawan tak mampu menggelitik saraf dalam kerut nadiku. Aku heran… apa yang membedakanku dengan mahluk lainnya? Itulah mengapa bagiku tak ada pembeda antara kata Bermain atau Dipermainkan.
Aku tak akan membiarkan kesadaran dalam diriku hanyut menyusuri keruhnya limbah perkotaan, bukan hanya aku, bunga – bunga teratai menghambat lajuku menyusuri selokan. Bunga yang tetap memancarkan keindahan di lingkungan yang bahkan banyak orang menganggapnya menjijikkan. Hingga aku melupakan putaran jarum karena terlalu asyik bermain dengan kupu-kupu!

Aku tak ingin pergi, aku masih ingin bermain, bersama teratai, Kupu-kupu, Bintang, Rembulan, juga dengan Mentari. Sampai saat senja berkata bahwa waktu bermainku telah usai. Sampai ibu memanggil dan aku harus pulang. Sampai saat dimana aku harus terlelap dalam tidur panjangku!

BERGURU pada SECANGKIR KOPI dan SEBATANG ROKOK

https://hariantoblok.blogspot.com/2016/06/kilat-cahaya-harapan.html
Hariku tak akan pernah jauh dari secangkir kopi dan sebatang rokok, bukan seperti orang kebanyakan yang membuang waktunya untuk minum kopi dan rokok tanpa ada arti kenikmatan, aku melakukannya lebih kepada memaknai kehidupan. Bisa di katakana kalau secangkir kopi dan batang-batang rokok adalah guru bagi kehidupanku, senantiasa mengajarkanku melihat sebuah persoalan dari berbagai macam sudut.  Karena bagiku kehidupan yang lempeng tanpa ada tikungan justru kehidupan yang membosankan.
Mulai dari secangkir kopi, aku memahami perbedaan. Bahkan aku lebih menyadari bahwa kopi yang nikmat terdiri dari berbagai material yang berbeda. Seperti itulah hidup, berbedaan bukan berarti tak dapat menyatu, justru yang berbeda saling berdampingan, saling melengkapi untuk mencapai sebuah rasa yang tak tertandingi. Rasa pahit yang menjadi cirikhas kopi menunjukkan pahitnya kehidupan, semakin pahit sebuah kopi akan semakin nikmat. Berbagai macam ujian dan cobaan yang datang di kehidupan akan membuat hidupmu lebih nikmat, kenapa? Banyak ahli agama yang mengatakan bahwa ujian dan cobaan adalah tanda Tuhan menyayani hambaNya, dari ujian dan cobaan itu akan dapat di ambil hikmah dan pelajaran yang berarti, setelah ujian itu berakhir, Tuhan menyiapkan hadiah yang istimewa untuk hambaNya. Disitulah kenikmatan hidup.
Kopi di pagi hari mengingatkanku bahwa hari ini tak akan berjalan sesuai apa yang ku harapkan. Akan ada sesuatu yang terasa pahit hari ini. Secara tidak langsung aku akan menyuapkan diri juga mental untuk memulai hariku setelah melangkahkan kaki keluar pintu rumah. Tak banyak yang menyadari bahwa kopi menyimpan berbagai macam pelajaran. Dan kenyataannya, mereka yang mampir ke warung untuk meminum secangkir kopi hanya sekedar menghilangkan kejenuhan di rumah, bahkan anak – anak sekarang menjadikan ngopi sebagai tradisi kekinian yang mereka gunakan untuk meng-Autis-kan diri bersama gadget yang mereka bawa. Aku pun banyak menjumpai warung kopi ramai pengunjung namun sepi suara, justru yang terdengar hanya lantunan music koplo dari si penjaga warung yang kadang juga membuat otak pelanggannya menjadi koplo.
Kemudian Rokok, anak-anak jaman sekarang masih kecil sudah pada berani pegang, bahkan menghisap lintingan tembakau itu, saat di Tanya ya jawabannya tetap sama. Ingin terlihat keren dan kekinian. Padahal mereka tahu, bahkan di setiap bungkus rokok yang beredar di Indonesia bertuliskan kalimat “Merokok Membunuhmu”, padahal mereka tak tahu bagaimana cara menikmati lintingan tembakau itu. Untuk aku pribadi, rokok bukan hanya sekedar kebutuhan, namun rokok adalah guru. Aku tetap merokok meski aku tahu bahaya merokok? Ya… tapi aku tahu dan sadar kapan waktu dan tempat yang tepat untuk aku menikmati setiap batangnya.
Bagaimana bisa aku menjadikan rokok guru bagi kehidupanku? Asap rokok tak memiliki bentuk yang pasti, berubah-ubah, sekejap akan lenyap di terpa angin. Aku melihatnya sebagai ruh dari setiap manusia, tidak ada yang tahu bentuk pasti dari ruh, kapan saja dan dimana saja, ruh itu akan di ambil Tuhan. Bahkan mungkin akan di lenyapkan seperti asap yang di terpa angina. Menurutku juga, rokok hampir sama seperti lilin. Lilin rela terbakar dan leleh habis demi menerangi ruangan yang gelap, rokok rela terbakar menjadi abu demi kenikmatan manusia serakah. Yang dapat di pelajari dari dua benda ini adalah, pengorbanan. Kita sebagai manusia harus rela berkorban demi orang-orang yang membutuhkan.
Namun kita juga harus sadar, kapan saatnya lilin itu terbakar dan kapan saatnya lilin itu padam. Mana mungkin kita menyalakan lilin di saat terang tanpa ada sebab atau alasan yang pasti?. Sadar kapan dan dimana saatnya kita menghisap rokok tanpa mengganggu orang lain. Bukan sekedar pamer bisa merokok karena ingin di anggap keren dan kekinian. Untuk rokok sendiri masih banyak makna yang aku simpan untuk diriku sendiri, karena memang rokok tidak baik untuk kesehatan jika tak mampu memaknai secara mendalam, dan aku tidak merekomendasikan rokok ataupun mengajarkan kalian para pembaca untuk merokok. Pemaknaan itu aku simpan karena aku pribadi takut banyak pembaca yang menyalahgunakan alasan dariku untuk bebas merokok.

Aku menjadikan rokok dan kopi sebagai guru  karena kebiasaanku ngopi dengan orang yang lebih tua dan lebih bijak dariku. Ketika ngopi aku banyak bertanya pada mereka yang lebih tua tentang berbagai macam hal dan ilmu. Ibarat dinamit yang meledak dengan satu pemicu, aku hanya menanyakan sebuah pertanyaan dan mereka berceloteh panjang lebar sehingga banyak pelajaran yang aku dapat dari orang-orang itu. Entah dari pengalaman mereka, entah dari apa yang mereka ketahui, yang pasti mereka membagikan ilmu kepadaku secara Cuma-Cuma dengan jumlah banyak. Itulah caraku berguru pada secangkir kopi dan sebatang rokok.

Selasa, 27 Oktober 2015

Pulang?

Terjebak dalam dunia yang bukan duniaku.
Aku tenggelam dalam gurun pasir, berenang menjauh dari dataran kotaku.
Si Derik pun tak sudi menyuntikkan racunnya.
Haruskah aku menunggu Badai menghantarkanku pulang?
Kini, waktu pun tak mampu menjawab,
karena pernyataan yang terlontar bukanlah sebuah pertanyaan.
Dan aku pun hanya menunggu sesuatu yang tak berbentuk, tanpa ada Kepastian.