Harapan
yang Tenggelam
Karya : Muhamad Akbar
Pukul
19.53.
Bau
anyir darah mengiringi langkahku
kembali ke markas, beberapa korban luka memenuhi tenda pengobatan, mayat-mayat masih tergeletak tidak terurus. Sebagai
seorang pemimpin perang, aku merasa telah gagal membawa pasukanku menuju kemenangan.
Rintih kesedihan, tangis kehilangan, seakan menjadi nada penghantar tidur.
Jerit ketakutan menambah pilu malam ini. hari semakin larut, aku masih terjaga dengan kertas dan senjata.
“Abang,.. boleh aku masuk?” gadis perawat yang juga
adalah adikku menyadarkan lamunan pedih ini. “masuklah”, Alfi berdiri disamping tempat dudukku.
“Abang, sampai kapan perang ini akan berlanjut?” pertanyaannya membekukan
gerakku, “entahlah,” aku hanya mampu tertunduk. “harus berapa banyak korban lagi
Bang? Harus berapa banyak kaki yang patah? Harus berapa banyak peluru yang
bersarang di tubuh? Harus berapa banyak nyawa yang hilang Bang?”, “ENTAHLAH!!!
Aku sendiri tidak mau terus seperti ini, aku juga ingin perang ini segera
berakhir!” teriakanku mengagetkan Alfi. Raut wajahnya berubah seketika.
“Alfi, maafkan Abang, Abang tidak bermaksut membuatmu
ketakutan.” Tanpa berucap, Alfi memelukku erat sambil menangis. “Bang, sudah! Cukup Bang, jangan ada lagi nyawa yang harus di korbankan. Kematian Ayah dan
Ibu sudah sangat menyakitkan. Aku tidak mau lagi kehilangan saudara dan teman-teman kita
Bang. Aku mohon, Bang! Akhiri saja peperangan ini. Hanya Abang satu-satunya
keluargaku, dan aku tidak mau Abang mati dalam peperangan.” Bibirku terkunci
mendengar perkataan Alfi, seakan petir menyambar di dalam hatiku. Aku melepaskan pelukan dan menyeka airmatanya. “Alfi,
tidurlah! Biarkan Abang sendiri”.
Pukul
22.56
Secangkir kopi yang mulai dingin menemaniku melewati
malam.
Kuhisap dalam-dalam lintingan
tembakau dan menghembuskannya keatas. Tanpa aku sadari airmata menetes membelai
pipiku, rasa sesak memenuhi dadaku. “kehilangan sesuatu?” suara parau itu
menghentikan isakkku,
aku menarik napas
panjang untuk mengendurkan dada. “banyak”, sahutku. Rian menarik sebuah koper, mendekatiku dan mendudukinya.
“kawan, sudah sekitar 13 purnama aku tidak melihat senyuman dari bibirmu. Apa yang menghambatnya?” ku ubah posisi dudukku menghadap Rian. “alasan yang
sama yang membuatmu berada di tempat ini”. Rian terkekeh.
Aku
menunggu hingga tawanya memudar. “Dalam situasi seperti ini, kau mentertawakan apa? Kematian saudara-saudaramu?” nada
bicaraku sedikit meninggi. Rian menghentikan tawanya, ia bergerak mendekatiku
dan berbisik, “kau!”. Aku melayangkan kepalan tanganku tepat diwajahnya
secara spontan. Rian semakin
terbahak menerima perlakuanku. “akurasa peperangan ini sudah membuatmu gila,
Rian!”, mencoba
berdiri Rian lantas
berteriak “Kau yang gila, Anto! Berbulan-bulan kau
membuat kami terjebak dalam peperangan ini, berbulan-bulan kau memaksakan diri
untuk membuat strategi yang sia-sia, tapi apa hasilnya? Kau hanya menyerahkan nyawa
saudara-saudara kita satu-persatu!”, seluruh tubuhku lemas mendengar ucapan Rian, bahkan kakiku tidak mampu menahan berat tubuhku hingga aku jatuh
bersimpuh.
“kau tidak sendiri, Anto! Ini bukan peperanganmu. Aku tahu kau pemimpin dalam peperangan ini, tapi bukan berarti kau lakukan
semuanya sendiri. Lalu kau anggap apa kami? Tumbal?” Rian kembali duduk di
atas koper, melihat rancangan strategi buatanku yang masih kacau. Ia kembali tertawa. Sambil menatapku, ia melangkah keluar dari tenda. Mungkin membiarkanku sendiri adalah pilihan terbaik baginya.
Keterpurukan semakin menghantui, tangispun tidak
terbendung lagi. Dengan sendu yang semakin menjadi, aku menguatkan diri untuk
bangun. Pikiranku semakin kacau, Alfi, adikku yang memintaku mengakhiri peperangan
ini. Rian, sahabatku yang mentertawakanku, dan orang-orang yang menaruh
harapannya padaku. Malamku diliputi kecemasan, lolongan anjing dan suara angin
mulai menyesakkanku. Batang demi batang tembakau kuhisap, berharap muncul
strategi yang dapat membawa saudara-saudaraku menuju ketentraman. “ah…BANGSAT!
Bahkan untuk bertahanpun sulit.” Kalimat yang terlontar dari Alfi dan Rian
terus terngiang dalam kepalaku.
Pukul
01.19
Ditengah keputus asaanku, aku
ingat akan kebesaran Tuhan. Aku mulai menengadahkan tangan dan bersimpuh. “Tuhan, berikanlah petunjuk
untukku yang mulai tersesat ini, aku menyerahkan seluruh hidupku pada-Mu Tuhan. Aku sadari, aku sering melupakan hadir-Mu meski Engkau memelukku di setiap hembusan nafasku.
Tuhan, aku tidak sanggup menerima segala beban dan tanggung jawab yang dilimpahkan
padaku. Aku sendiri Tuhan. Jika memang Engkau merestui aku menjadi pemimpin, berikanlah
keajaiban untuk kami. Namun jika aku bukanlah pemimpin yang baik bagi mereka,
ijinkan aku membawa mereka kembali dengan selamat, Tuhan. Engkau yang menciptakanku dan kepadamulah aku
akan kembali.” Airmataku kembali menetes, ku usapkan telapak tanganku kewajah
mengakhiri rintihan
doaku.
“Kami bersamamu, Anto!” Rian dan beberapa orang berdiri
di depan pintu tenda. mereka berempat masuk, dua diantaranya memapahku untuk berdiri. “terkadang
seorang pemimpin butuh saran dari prajuritnya” Raka menyeletuk, membelalakkan mataku. Sesuatu yang bahkan
tidak bisa aku pahami sebagai pemimpin. “kami tidak akan meninggalkanmu sendirian, kami akan selalu setia
menemanimu dalam keadaan apapun” Dani menambahkan. “aku rasa lima otak yang
berfikir jauh lebih baik daripada satu” Yusuf menjawab semua pertanyaan yang
ada di kepalaku. “Inilah yang aku maksudkan. Berapa kalipun kau memukul wajahku, jika kau sendiri tidak
akan berarti apapun.
Aku membawa mereka untuk membantumu berpikir, Raka ahli dalam membuat strategi,
Dani kepala persenjataan, dia yang memegang data seberapa banyak sisa
persenjataan yang mampu kita gunakan, dan Yusuf, dia pernah belajar tentang
emosi kejiwaan manusia. Dia yang akan menahan segala macam bentuk amarah yang
akan menghancurkan kita.”
Tuhan mendengarkan doaku,
bantuan yang selama ini tidak aku sadari keberadaannya muncul di saat
yang tepat. Dengan sigap Raka mengambil beberapa kertas dan mulai membuat
sketsa strategi, ia menjelaskan panjang lebar kepada kami. Ternyata diam-diam
Raka mengamati pola pertempuran lawan. Bahkan hal sekecil itupun tidak pernah
aku sadari. Mungkin karena itulah peperangan yang aku pimpin selalu mengalami kekalahan.
Pukul
05.43
Harapan mulai muncul, airmataku kembali tumpah menyesali
kecerobohanku selama ini. Pendapat demi pendapat silih berganti terlontar dari
mulut kami. Sedikit perdebatan mewarnai rapat pertama sejak
aku terpilih menjadi pemimpin.
Tidak jarang Yusuf memberikan treatment untuk menenangkan emosiku, mungkin karena aku terlalu
bersemangat sehingga yang muncul adalah ambisi dan egoisme. Menurut Yusuf,
ambisi tidak akan membuat seseorang berpikir dengan jernih, justru akan banyak
kesalahan yang timbul akibat berambisi. Beberapa jam berlalu dengan hasil yang menjanjikan, kami bergegas
membangunkan orang-orang dan bersiap mengawali serangan. Kali ini Rian yang mengkoordinasi seluruh pasukan di
bawah pimpinanku.
Aku berlutut dan bersujud mengucap terimakasih kepada
Tuhan yang telah memberikan bantuan. Alfi menghampiriku, membangunkanku dari
sujud syukurku. “Abang!”, “Alfi, kali ini Abang akan membawamu dan
saudara-saudara kita pulang. Doakan abang berhasil untuk kali ini” sambil memegang
tangan Alfi, aku menghadap ke langit “Tuhan, ijinkan aku menjadi pemimpin yang
baik untuk mereka”, Rian mengakhiri koordinasinya kepada seluruh pasukan. Sedangkan
aku pamit kepada Alfi.
Tujuan kami menjadi satu. Dengan semangat yang membara dan kepercayaan orang-orang
padaku, aku yakin mampu membawa mereka menuju kemenangan untuk peperangan kali
ini. Kami berlarian menuju markas lawan, beberapa orang
sedikit mengendap melindungi pasukan terdepan. Letupan
senjata dan gema ledakan geranat yang kami lontarkan memporak porandakan markas
lawan. Aku semakin yakin akan kemenangan yang ada di
depan mata. Tentara lawan berlarian keluar, beberapa dari mereka
terhempas karena ledakan, ada juga yang terhujam lemparan bambu runcing dari kami.
Tidak ada perlawanan dari musuh, serangan kami hentikan dengan satu komando,
perlahan kami semua mengepung markas musuh, mengendap dari satu tenda ke tenda lain.. “SIALAN! INI PERANGKAP!” Raka berteriak dari
dalam sebuah gudang senjata dan berlari keluar. Belum jauh Raka berlari, gudang
senjata itu meledak menghempaskan tubuh Raka. Semua pasukan tercengang. Letupan senjata kembali terdengar dari luar
markas, peluru-peluru ganas menembus tubuh bertubi-tubi. Ledakan demi ledakan menghempaskan pasukan kami. Aku tidak mampu berbuat apapun, kakiku lemas, yang kulihat hanya
tubuh yang berjatuhan bak hujan mayat. Beberapa kali tubuhku terkena tembakan,
aku jatuh tersungkur.
Masih dengan kesadaran menahan sakit, aku merasakan ada
yang menarik tubuhku dan membawaku ke tepi jurang yang tidak jauh dari tempat peperangan, beberapa kali badanku diombang-ambing
sebelum akhirnya tubuhku dibuang dengan geranat yang siap meledak di
dalam bajuku. Belum sempat tubuhku menyentuh tanah, aku
melihat kilatan cahaya dari dalam bajuku. Geranat itu meledak tepat di atas uluhatiku. Aku tidak mampu merasakan tubuhku.
Hingga aku benar-benar terhempas dari tempat di
mana aku tertidur. Mataku
terbelalak menyadari semua
yang aku alami tadi hanya mimpi. Peperangan
yang sebenarnya belumlah benar-benar terjadi. Mejaku masih berantakan dengan
beberapa peralatan, setidaknya aku tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini.