Senin, 20 Juni 2016

Harapan yang Tenggelam



Harapan yang Tenggelam
Karya : Muhamad Akbar
Pukul 19.53.
Bau anyir darah mengiringi langkahku kembali ke markas, beberapa korban luka memenuhi tenda pengobatan, mayat-mayat masih tergeletak tidak terurus. Sebagai seorang pemimpin perang, aku merasa telah gagal membawa pasukanku menuju kemenangan. Rintih kesedihan, tangis kehilangan, seakan menjadi nada penghantar tidur. Jerit ketakutan menambah pilu malam ini. hari semakin larut, aku masih terjaga dengan  kertas dan senjata.
“Abang,.. boleh aku masuk?” gadis perawat yang juga adalah adikku menyadarkan lamunan pedih ini. “masuklah”, Alfi berdiri disamping tempat dudukku. “Abang, sampai kapan perang ini akan berlanjut?” pertanyaannya membekukan gerakku, “entahlah,” aku hanya mampu tertunduk. “harus berapa banyak korban lagi Bang? Harus berapa banyak kaki yang patah? Harus berapa banyak peluru yang bersarang di tubuh? Harus berapa banyak nyawa yang hilang Bang?”, “ENTAHLAH!!! Aku sendiri tidak mau terus seperti ini, aku juga ingin perang ini segera berakhir!” teriakanku mengagetkan Alfi. Raut wajahnya berubah seketika.
“Alfi, maafkan Abang, Abang tidak bermaksut membuatmu ketakutan.” Tanpa berucap, Alfi memelukku erat sambil menangis. “Bang, sudah! Cukup Bang, jangan ada lagi nyawa yang harus di korbankan. Kematian Ayah dan Ibu sudah sangat menyakitkan. Aku tidak mau lagi kehilangan saudara dan teman-teman kita Bang. Aku mohon, Bang! Akhiri saja peperangan ini. Hanya Abang satu-satunya keluargaku, dan aku tidak mau Abang mati dalam peperangan.” Bibirku terkunci mendengar perkataan Alfi, seakan petir menyambar di dalam hatiku. Aku melepaskan pelukan dan menyeka airmatanya. “Alfi, tidurlah! Biarkan Abang sendiri”.
Pukul 22.56
Secangkir kopi yang mulai dingin menemaniku melewati malam. Kuhisap dalam-dalam lintingan tembakau dan menghembuskannya keatas. Tanpa aku sadari airmata menetes membelai pipiku, rasa sesak memenuhi dadaku. “kehilangan sesuatu?” suara parau itu menghentikan isakkku, aku menarik napas panjang untuk mengendurkan dada. “banyak”, sahutku. Rian menarik sebuah koper, mendekatiku dan mendudukinya. “kawan, sudah sekitar 13 purnama aku tidak melihat senyuman dari bibirmu. Apa yang menghambatnya?” ku ubah posisi dudukku menghadap Rian. “alasan yang sama yang membuatmu berada di tempat ini”. Rian terkekeh.
Aku menunggu hingga tawanya memudar. Dalam situasi seperti ini, kau mentertawakan apa? Kematian saudara-saudaramu?” nada bicaraku sedikit meninggi. Rian menghentikan tawanya, ia bergerak mendekatiku dan berbisik, “kau!”. Aku melayangkan kepalan tanganku tepat diwajahnya secara spontan. Rian semakin terbahak menerima perlakuanku. “akurasa peperangan ini sudah membuatmu gila, Rian!”, mencoba berdiri Rian lantas berteriak “Kau yang gila, Anto! Berbulan-bulan kau membuat kami terjebak dalam peperangan ini, berbulan-bulan kau memaksakan diri untuk membuat strategi yang sia-sia, tapi apa hasilnya? Kau hanya menyerahkan nyawa saudara-saudara kita satu-persatu!”, seluruh tubuhku lemas mendengar ucapan Rian, bahkan kakiku tidak mampu menahan berat tubuhku hingga aku jatuh bersimpuh.
“kau tidak sendiri, Anto! Ini bukan peperanganmu. Aku tahu kau pemimpin dalam peperangan ini, tapi bukan berarti kau lakukan semuanya sendiri. Lalu kau anggap apa kami? Tumbal?” Rian kembali duduk di atas koper, melihat rancangan strategi buatanku yang masih kacau. Ia kembali tertawa. Sambil menatapku, ia melangkah keluar dari tenda. Mungkin membiarkanku sendiri adalah pilihan terbaik baginya.
Keterpurukan semakin menghantui, tangispun tidak terbendung lagi. Dengan sendu yang semakin menjadi, aku menguatkan diri untuk bangun. Pikiranku semakin kacau, Alfi, adikku yang memintaku mengakhiri peperangan ini. Rian, sahabatku yang mentertawakanku, dan orang-orang yang menaruh harapannya padaku. Malamku diliputi kecemasan, lolongan anjing dan suara angin mulai menyesakkanku. Batang demi batang tembakau kuhisap, berharap muncul strategi yang dapat membawa saudara-saudaraku menuju ketentraman. “ah…BANGSAT! Bahkan untuk bertahanpun sulit.” Kalimat yang terlontar dari Alfi dan Rian terus terngiang dalam kepalaku.
Pukul 01.19
Ditengah keputus asaanku, aku ingat akan kebesaran Tuhan. Aku mulai menengadahkan tangan dan bersimpuh. “Tuhan, berikanlah petunjuk untukku yang mulai tersesat ini, aku menyerahkan seluruh hidupku pada-Mu Tuhan. Aku sadari, aku sering melupakan hadir-Mu meski Engkau memelukku di setiap hembusan nafasku. Tuhan, aku tidak sanggup menerima segala beban dan tanggung jawab yang dilimpahkan padaku. Aku sendiri Tuhan. Jika memang Engkau merestui aku menjadi pemimpin, berikanlah keajaiban untuk kami. Namun jika aku bukanlah pemimpin yang baik bagi mereka, ijinkan aku membawa mereka kembali dengan selamat, Tuhan. Engkau yang menciptakanku dan kepadamulah aku akan kembali.” Airmataku kembali menetes, ku usapkan telapak tanganku kewajah mengakhiri rintihan doaku.
“Kami bersamamu, Anto!” Rian dan beberapa orang berdiri di depan pintu tenda. mereka berempat masuk, dua diantaranya memapahku untuk berdiri. “terkadang seorang pemimpin butuh saran dari prajuritnya” Raka menyeletuk, membelalakkan mataku. Sesuatu yang bahkan tidak bisa aku pahami sebagai pemimpin. “kami tidak akan meninggalkanmu sendirian, kami akan selalu setia menemanimu dalam keadaan apapun” Dani menambahkan. “aku rasa lima otak yang berfikir jauh lebih baik daripada satu” Yusuf menjawab semua pertanyaan yang ada di kepalaku. “Inilah yang aku maksudkan. Berapa kalipun kau memukul wajahku, jika kau sendiri tidak akan berarti apapun. Aku membawa mereka untuk membantumu berpikir, Raka ahli dalam membuat strategi, Dani kepala persenjataan, dia yang memegang data seberapa banyak sisa persenjataan yang mampu kita gunakan, dan Yusuf, dia pernah belajar tentang emosi kejiwaan manusia. Dia yang akan menahan segala macam bentuk amarah yang akan menghancurkan kita.”
Tuhan mendengarkan doaku,  bantuan yang selama ini tidak aku sadari keberadaannya muncul di saat yang tepat. Dengan sigap Raka mengambil beberapa kertas dan mulai membuat sketsa strategi, ia menjelaskan panjang lebar kepada kami. Ternyata diam-diam Raka mengamati pola pertempuran lawan. Bahkan hal sekecil itupun tidak pernah aku sadari. Mungkin karena itulah peperangan yang aku pimpin selalu mengalami kekalahan.
Pukul 05.43
Harapan mulai muncul, airmataku kembali tumpah menyesali kecerobohanku selama ini. Pendapat demi pendapat silih berganti terlontar dari mulut kami. Sedikit perdebatan mewarnai rapat pertama sejak aku terpilih menjadi pemimpin. Tidak jarang Yusuf memberikan treatment untuk menenangkan emosiku, mungkin karena aku terlalu bersemangat sehingga yang muncul adalah ambisi dan egoisme. Menurut Yusuf, ambisi tidak akan membuat seseorang berpikir dengan jernih, justru akan banyak kesalahan yang timbul akibat berambisi. Beberapa jam berlalu dengan hasil yang menjanjikan, kami bergegas membangunkan orang-orang dan bersiap mengawali serangan. Kali ini Rian yang mengkoordinasi seluruh pasukan di bawah pimpinanku.
Aku berlutut dan bersujud mengucap terimakasih kepada Tuhan yang telah memberikan bantuan. Alfi menghampiriku, membangunkanku dari sujud syukurku. “Abang!”, “Alfi, kali ini Abang akan membawamu dan saudara-saudara kita pulang. Doakan abang berhasil untuk kali ini” sambil memegang tangan Alfi, aku menghadap ke langit “Tuhan, ijinkan aku menjadi pemimpin yang baik untuk mereka”, Rian mengakhiri koordinasinya kepada seluruh pasukan. Sedangkan aku pamit kepada Alfi.
Tujuan kami menjadi satu. Dengan semangat yang membara dan kepercayaan orang-orang padaku, aku yakin mampu membawa mereka menuju kemenangan untuk peperangan kali ini. Kami berlarian menuju markas lawan, beberapa orang sedikit mengendap melindungi pasukan terdepan. Letupan senjata dan gema ledakan geranat yang kami lontarkan memporak porandakan markas lawan. Aku semakin yakin akan kemenangan yang ada di depan mata. Tentara lawan berlarian keluar, beberapa dari mereka terhempas karena ledakan, ada juga yang terhujam lemparan bambu runcing dari kami.
Tidak ada perlawanan dari musuh, serangan kami hentikan dengan satu komando, perlahan kami semua mengepung markas musuh, mengendap dari satu tenda ke tenda lain.. “SIALAN! INI PERANGKAP!” Raka berteriak dari dalam sebuah gudang senjata dan berlari keluar. Belum jauh Raka berlari, gudang senjata itu meledak menghempaskan tubuh Raka. Semua pasukan tercengang. Letupan senjata kembali terdengar dari luar markas, peluru-peluru ganas menembus tubuh bertubi-tubi. Ledakan demi ledakan menghempaskan pasukan kami. Aku tidak mampu berbuat apapun, kakiku lemas, yang kulihat hanya tubuh yang berjatuhan bak hujan mayat. Beberapa kali tubuhku terkena tembakan, aku jatuh tersungkur.
Masih dengan kesadaran menahan sakit, aku merasakan ada yang menarik tubuhku dan membawaku ke tepi jurang yang tidak jauh dari tempat peperangan, beberapa kali badanku diombang-ambing sebelum akhirnya tubuhku dibuang dengan geranat yang siap meledak di dalam bajuku. Belum sempat tubuhku menyentuh tanah, aku melihat kilatan cahaya dari dalam bajuku. Geranat itu meledak tepat di atas uluhatiku. Aku tidak mampu merasakan tubuhku.
Hingga aku benar-benar terhempas dari tempat di mana aku tertidur. Mataku terbelalak menyadari semua yang aku alami tadi hanya mimpi. Peperangan yang sebenarnya belumlah benar-benar terjadi. Mejaku masih berantakan dengan beberapa peralatan, setidaknya aku tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar