Rabu, 04 Maret 2015

Goresan Cahaya

GORESAN CAHAYA
#masa SMA
“hari masih begitu pagi untuk mendapatkan jam pelajaran kosong, haaah (menghela nafas)…. Membosankan”  gerutu seorang pelajar, dia adalah Randy, siswa SMA di kota Surabaya. Jika jam pelajaran kosong seperti ini, dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menggambar, buku pelajarannya pun menjadi medi yang tepat untuk menampung semua inspirasi yang mengalir dalam benaknya, “ bagus juga hasil karyamu” kata seorang temannya yang bernama Budi. Randy hanya tersenyum dan melanjutkan gambarnya.
#setelah LULUS
            Putung-putung rokok berceceran, ampas kopi pun tumpah di mana-mana, terlihat Randy sedang duduk lesu di sebuah kursi dengan memandang gambar yang ia buat, “apa yang kurang? Kenapa aku merasa masih ada yang kurang dari setiap gambar yang aku buat?” rasa penasaran selalu menghantu Randy setiap ia memandang gambar buatannya, hingga rasa penasaran itu berubah menjadi ketakutan. Telepon genggam Randy berdering, dan ia segera mengambilnya, “halo, siapa?”, “Saya Lukman, bisa bicara dengan Randy?”,” Lukman siapa? Iya saya sendiri,”, Randy? Aku Lukman temen satu kelasmu dulu, begini Ran, aku mau adakan Reuni SMA angkatan kita, luangkanlah sedikit waktumu untuk ikut berkumpul”,”oh, Lukman, iya luk, aku pasti datang, kapan dan dimana acaranya…?” perbincangan Randy dengan Lukman berlanjut di telepon.
            Waktu Reuni pun tiba, Randy berangkat dengan mengendarai motor kesayangannya, sesampainya di lokasi, hanya ada beberapa temannya termasuk Budi dan Lukman, kerinduan akan teman SMA mereka lepaskan saat itu juga, dengan berbagai materi perbincangan terus berlanjut hingga akhirnya Randy menceritakan ketakutannya untuk menggambar, Lukman yang bekerja sebagai sikolog, Budi yang mendalami seni teaternya, Diki yang menjadi guru, dan Heri yang bekerja di kepolisian memberikan sarannya masing-masing,  berbagai saran dari teman-temannya menjadi bahan renungannya kali ini, hingga ia memutuskan untuk mengenal lebih jauh tentang seni menggambar. Sepulang dari reuni itu, Randy melihat seniman lukis pensil jalanan, ia terpukau melihat hasil karya seniman itu, Randy meminta seniman itu untuk melukis di depannya, setelah selesai, Randy mencoba memahami apa yang berbeda dari gambar yang ia buat. Randy masih belum memahami apa yang kurang, sampai ia mencari di internet tentang seni lukis.
            Tetap tak memahami apa yang salah dengan gambarnya, Randy semakin putus asa hingga ia melempar semua gambar yang ada di kamarnya, begitu berserakan, lusuh, bahkan ada yang tersulut nyala rokok yang Randy nyalakan, teriakan Randy membuat Orang tuanya khawatir, hingga mereka datang ke kamar Randy, “ ada apa nak? Kok kamar kamu penuh dengan hasil gambarmu?”,” apa kau bermasalah? Sesekali bercerita lah kepada ayah atau ibu nak, mungkin kami bisa membantu,” Tanya kedua orang tua Randy. Randy menceritakan apa yang sebenarnya ia alami, matanya berkaca-kaca seakan air yang berada di dalam bola matanya memaksa untuk keluar, “menangislah nak, mungkin kau sudah dewasa, namun bagi kami, kau tetaplah anak kecil yang harus kami perhatikan, di sayang, dan di beri semangat.” Kata ibu Randy, “ya… benar kata ibumu nak, karena semua masalah tak akan ada jalan keluarnya jika kamu hanya memikirkan masalah itu, cobalah untuk memikirkan solusi dari masalahmu” tambah ayah Randy, “lalu apa yang harus Randy lakukan, Randy buta Yah, Bu, Randy kehilangan arah”, “mungkin ayah dan ibu tak bisa memecahkan masalahmu, tapi kami bisa membantu mencari jalan keluarnya”,” cobalah bertanya, jangan lupakan pepatah lama nak, MALU BERTANYA SESAT DI JALAN, kami tak memiliki bakat sepertimu, jadi kami tak tahu apa yang harus kamu lakukan untuk gambarmu, tapi kami tahu apa yang harus kamu lakukan untuk menemukan jawaban dari segala masalahmu.” Randy bingung dengan perkataan kedua orang tuanya, wajar saja, kedua orang tua Randy adalah orang yang berkecimpung di dunia sastra, “belajarlah dari wanita, mereka berfikir tidak hanya dengan otak, namun juga dengan hati, seperti ibumu” tambah ayah Randy, “hari sudah larut, beristirahatlah, dan renungkan apa yang telah kami katakana. Kami selalu mendukung apa yang baik yang akan kamu lakukan nak, karena kami sayang padamu” kedua orang tua Randy pun meninggalkan Randy sendirian di kamar.
            Randy terus berfikir tentang apa yang telah di katakana kedua orang tuanya, secangkir kopi dan sebungkus rokok  masih setia menemaninya melewati malam sambil memkirkan perkataan ibunya, kemudian ia membuka laptop dan mencari di web tentang seni lukis, saat meneguk kopinya, ia tersentak dan menyadari sesuatu, “ya… aku tak akan mengerti perkataan mereka jika aku berfikir hanya menggunakan otakku, aku harus berfikir dengan perasaanku juga, seperti halnya wanita.”. Randy menulis apa yang telah di katakana kedua orang tuanya, ia mencoba memahami satu demi satu kalimat yang ia tulis, perlahan Randy mulai menyadari arti dari setiap kalimat.
“mungkin ayah dan ibu tak bisa memecahkan masalahmu, tapi kami bisa membantu mencari jalan keluarnya, cobalah bertanya, jangan lupakan pepatah lama nak, MALU BERTANYA SESAT DI JALAN, kami tak memiliki bakat sepertimu, jadi kami tak tahu apa yang harus kamu lakukan untuk gambarmu, tapi kami tahu apa yang harus kamu lakukan untuk menemukan jawaban dari segala masalahmu.”.
” beratri aku harus mencari orang yang lebih berpengalaman di bidang seni lukis juga, dan aku harus menanyakan masalahku pada orang tersebut, yah, aku akan mulai mencari.”
            Ke esokan harinya Randy kembali menemui pelukis jalanan yang pernah ia temui, ia membawa beberapa hasil gambarannya dan bertanya apa yang kurang dari gambarnya tersebut, si pelukis jalanan memberikan sedikit ilmu yang ia miliki dengan senang hati.
“mas, sibuk gak?”, Tanya Randy pada pelukis jalanan itu, “ Alhamdulillah sudah agak santai bli” pelukis itu menjawab dengan logat balinya yang masih kental, “begini mas, saya kan juga suka gambar, tapi menurut saya, gambar saya itu masih ada yang kurang, saya belum menemukan kepuasan saat melihat gambar yang saya buat”, “oh itu, coba saya lihat gambar bli” kata pelukis itu sembari melihat hasil gambaran Randy, “ kalo menurut saya, gambar bli ini sudah bagus, tapi efek bayangannya masih belum sepadan dengan medianya” tambah pelukis itu, “ lalu apa lagi mas?” Randy kembali bertanya, “ menurut saya Cuma itu bli, mohon maaf tidak bisa kasih ilmu banyak, karena saya juga baru belajar” setelah berpamitan, Randy kembali mencari orang yang lebih berpengalaman lagi karena belum puas dengan jawaban si pelukis jalanan itu.
            Di perjalanan Randy melihat seorang pelukis wanita yang sudah cukup berumur, ia mengamatinya dengan penuh rasa penasaran, hingga akhirnya pelukis itu pergi. Diam-diam Randy mengikuti Wanita itu sampai ke rumahnya, Randy memberanikan diri untuk bertamu dan bertanya pada wanita itu, namun wanita itu menyuruh Randy menggambar di hadapannya, setelah Randy menyelesaikan gambarnya, wanita itu menyuruh Randy untuk datang ke rumahnya setiap sore untuk berlatih.
            Suatu sore, Randy datang ke rumah wanita itu, dan ternyata yang membukakan pintu adalah Budi, teman SMA nya dulu yang juga anak dari Wanita pelukis itu, Randy sangat terkejut, ia tak menyangka bahwa Budi adalah anak seorang seniman lukis yang menjadi gurunya, sebelum ibu Budi datang, Randy dan Budi banyak berbincang, Randy sempat menyalahkan budi dalam candaannya karena tak memberi tahu bahwa ibu Budi adalah seniman lukis. Setelah ibu Budi datang, Randy pun kembali belajar, Budi yang melihat Randy menggambar pun mengkeritik Randy, “seperti itukah gambaranmu sekarang? Dimana semangatmu? Dimana perasaanmu saat kau menorehkan pensil itu ke dalam kertas? kesenian itu tak hanya mengandalkan bakat, perasaan senimannya pun akan ikut dalam hasil karya yang ia buat, jangan terlalu sombong karena merasa bakatmu lebih menonjol dari orang lain,kamu saja tak pernah menghargai kemampuanmu sendiri, bagaimana bisa menghasilkan karya yang berharga? bakat pun perlu di kembangkan kawan” Randy mematung, tak sepatah katapun terlontar dari bibirnya, “karena itulah ibu menyuruhmu setiap sore berlatih di sini, sebenarnya ibu ingin kau menyadarinya sendiri, namun karena Budi telah memberitahumu, ibu akan memberitahu semua yang harus dimiliki seniman dalam berkarya, yang paling utama, kamu harus lebih dekat dengan Sang Pencipta, menghargai dan lebih mengenal subyek dan obyek yang akan di gunakan untuk berkarya, …………..”.
            Sepulang dari rumah Budi, Randy terus merenung, “jadi seperti itu? Hal yang sekecil itu tak pernah ku sadari karena aku merasa bahwa bakatku melebihi kemampuan orang lain, kesombongan ini membutakanku, kalau begitu, akan aku mulai semuanya dari awal, akan aku coba semua yang telah ku pelajari dari mereka yang telah ahli, namun, semua ini tak akan pernah aku temukan jika taka da campur tangan kedua orang tuaku… terimakasih Tuhan, Terima kasih Ayah, Ibu, terimakasih kawan-kawan, Seniman-seniman, dan terimakasih untuk semua yang selalu mendukungku sampai saat ini.”
#beberapa tahun kemudian
            “ini lah hasil karya Pertama Randy setelah menyadari kekurangan dalam gambarnya, dia menghadiahkan padaku saat ia akan berangkat ke paris untuk pameran lukisannya”, Sahabat Randy bercerita pada murid-muridnya. “ banyak hikmah yang bisa kalian petik dalam cerita terciptanya lukisan ini, banyak pula pelajaran yang bisa kalian contoh.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar