GORESAN CAHAYA
#masa
SMA
“hari masih begitu pagi untuk
mendapatkan jam pelajaran kosong, haaah (menghela nafas)…. Membosankan” gerutu seorang pelajar, dia adalah Randy,
siswa SMA di kota Surabaya. Jika jam pelajaran kosong seperti ini, dia lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk menggambar, buku pelajarannya pun menjadi
medi yang tepat untuk menampung semua inspirasi yang mengalir dalam benaknya, “
bagus juga hasil karyamu” kata seorang temannya yang bernama Budi. Randy hanya
tersenyum dan melanjutkan gambarnya.
#setelah
LULUS
Putung-putung rokok berceceran,
ampas kopi pun tumpah di mana-mana, terlihat Randy sedang duduk lesu di sebuah
kursi dengan memandang gambar yang ia buat, “apa yang kurang? Kenapa aku merasa
masih ada yang kurang dari setiap gambar yang aku buat?” rasa penasaran selalu
menghantu Randy setiap ia memandang gambar buatannya, hingga rasa penasaran itu
berubah menjadi ketakutan. Telepon genggam Randy berdering, dan ia segera
mengambilnya, “halo, siapa?”, “Saya Lukman, bisa bicara dengan Randy?”,” Lukman
siapa? Iya saya sendiri,”, Randy? Aku Lukman temen satu kelasmu dulu, begini
Ran, aku mau adakan Reuni SMA angkatan kita, luangkanlah sedikit waktumu untuk
ikut berkumpul”,”oh, Lukman, iya luk, aku pasti datang, kapan dan dimana
acaranya…?” perbincangan Randy dengan Lukman berlanjut di telepon.
Waktu Reuni pun tiba, Randy
berangkat dengan mengendarai motor kesayangannya, sesampainya di lokasi, hanya
ada beberapa temannya termasuk Budi dan Lukman, kerinduan akan teman SMA mereka
lepaskan saat itu juga, dengan berbagai materi perbincangan terus berlanjut
hingga akhirnya Randy menceritakan ketakutannya untuk menggambar, Lukman yang
bekerja sebagai sikolog, Budi yang mendalami seni teaternya, Diki yang menjadi
guru, dan Heri yang bekerja di kepolisian memberikan sarannya masing-masing, berbagai saran dari teman-temannya menjadi
bahan renungannya kali ini, hingga ia memutuskan untuk mengenal lebih jauh
tentang seni menggambar. Sepulang dari reuni itu, Randy melihat seniman lukis
pensil jalanan, ia terpukau melihat hasil karya seniman itu, Randy meminta
seniman itu untuk melukis di depannya, setelah selesai, Randy mencoba memahami
apa yang berbeda dari gambar yang ia buat. Randy masih belum memahami apa yang
kurang, sampai ia mencari di internet tentang seni lukis.
Tetap tak memahami apa yang salah
dengan gambarnya, Randy semakin putus asa hingga ia melempar semua gambar yang
ada di kamarnya, begitu berserakan, lusuh, bahkan ada yang tersulut nyala rokok
yang Randy nyalakan, teriakan Randy membuat Orang tuanya khawatir, hingga
mereka datang ke kamar Randy, “ ada apa nak? Kok kamar kamu penuh dengan hasil
gambarmu?”,” apa kau bermasalah? Sesekali bercerita lah kepada ayah atau ibu
nak, mungkin kami bisa membantu,” Tanya kedua orang tua Randy. Randy
menceritakan apa yang sebenarnya ia alami, matanya berkaca-kaca seakan air yang
berada di dalam bola matanya memaksa untuk keluar, “menangislah nak, mungkin
kau sudah dewasa, namun bagi kami, kau tetaplah anak kecil yang harus kami
perhatikan, di sayang, dan di beri semangat.” Kata ibu Randy, “ya… benar kata
ibumu nak, karena semua masalah tak akan ada jalan keluarnya jika kamu hanya
memikirkan masalah itu, cobalah untuk memikirkan solusi dari masalahmu” tambah
ayah Randy, “lalu apa yang harus Randy lakukan, Randy buta Yah, Bu, Randy
kehilangan arah”, “mungkin ayah dan ibu tak bisa memecahkan masalahmu, tapi
kami bisa membantu mencari jalan keluarnya”,” cobalah bertanya, jangan lupakan
pepatah lama nak, MALU BERTANYA SESAT DI JALAN, kami tak memiliki bakat
sepertimu, jadi kami tak tahu apa yang harus kamu lakukan untuk gambarmu, tapi
kami tahu apa yang harus kamu lakukan untuk menemukan jawaban dari segala
masalahmu.” Randy bingung dengan perkataan kedua orang tuanya, wajar saja,
kedua orang tua Randy adalah orang yang berkecimpung di dunia sastra,
“belajarlah dari wanita, mereka berfikir tidak hanya dengan otak, namun juga
dengan hati, seperti ibumu” tambah ayah Randy, “hari sudah larut,
beristirahatlah, dan renungkan apa yang telah kami katakana. Kami selalu
mendukung apa yang baik yang akan kamu lakukan nak, karena kami sayang padamu”
kedua orang tua Randy pun meninggalkan Randy sendirian di kamar.
Randy terus berfikir tentang apa
yang telah di katakana kedua orang tuanya, secangkir kopi dan sebungkus
rokok masih setia menemaninya melewati
malam sambil memkirkan perkataan ibunya, kemudian ia membuka laptop dan mencari
di web tentang seni lukis, saat meneguk kopinya, ia tersentak dan menyadari
sesuatu, “ya… aku tak akan mengerti perkataan mereka jika aku berfikir hanya
menggunakan otakku, aku harus berfikir dengan perasaanku juga, seperti halnya
wanita.”. Randy menulis apa yang telah di katakana kedua orang tuanya, ia
mencoba memahami satu demi satu kalimat yang ia tulis, perlahan Randy mulai
menyadari arti dari setiap kalimat.
“mungkin ayah dan ibu tak bisa
memecahkan masalahmu, tapi kami bisa membantu mencari jalan keluarnya, cobalah
bertanya, jangan lupakan pepatah lama nak, MALU BERTANYA SESAT DI JALAN, kami
tak memiliki bakat sepertimu, jadi kami tak tahu apa yang harus kamu lakukan
untuk gambarmu, tapi kami tahu apa yang harus kamu lakukan untuk menemukan
jawaban dari segala masalahmu.”.
”
beratri aku harus mencari orang yang lebih berpengalaman di bidang seni lukis
juga, dan aku harus menanyakan masalahku pada orang tersebut, yah, aku akan
mulai mencari.”
Ke esokan harinya Randy kembali
menemui pelukis jalanan yang pernah ia temui, ia membawa beberapa hasil
gambarannya dan bertanya apa yang kurang dari gambarnya tersebut, si pelukis
jalanan memberikan sedikit ilmu yang ia miliki dengan senang hati.
“mas, sibuk gak?”, Tanya Randy pada pelukis jalanan itu, “ Alhamdulillah sudah agak santai bli” pelukis itu menjawab dengan logat balinya yang masih kental, “begini mas, saya kan juga suka gambar, tapi menurut saya, gambar saya itu masih ada yang kurang, saya belum menemukan kepuasan saat melihat gambar yang saya buat”, “oh itu, coba saya lihat gambar bli” kata pelukis itu sembari melihat hasil gambaran Randy, “ kalo menurut saya, gambar bli ini sudah bagus, tapi efek bayangannya masih belum sepadan dengan medianya” tambah pelukis itu, “ lalu apa lagi mas?” Randy kembali bertanya, “ menurut saya Cuma itu bli, mohon maaf tidak bisa kasih ilmu banyak, karena saya juga baru belajar” setelah berpamitan, Randy kembali mencari orang yang lebih berpengalaman lagi karena belum puas dengan jawaban si pelukis jalanan itu.
“mas, sibuk gak?”, Tanya Randy pada pelukis jalanan itu, “ Alhamdulillah sudah agak santai bli” pelukis itu menjawab dengan logat balinya yang masih kental, “begini mas, saya kan juga suka gambar, tapi menurut saya, gambar saya itu masih ada yang kurang, saya belum menemukan kepuasan saat melihat gambar yang saya buat”, “oh itu, coba saya lihat gambar bli” kata pelukis itu sembari melihat hasil gambaran Randy, “ kalo menurut saya, gambar bli ini sudah bagus, tapi efek bayangannya masih belum sepadan dengan medianya” tambah pelukis itu, “ lalu apa lagi mas?” Randy kembali bertanya, “ menurut saya Cuma itu bli, mohon maaf tidak bisa kasih ilmu banyak, karena saya juga baru belajar” setelah berpamitan, Randy kembali mencari orang yang lebih berpengalaman lagi karena belum puas dengan jawaban si pelukis jalanan itu.
Di perjalanan Randy melihat seorang
pelukis wanita yang sudah cukup berumur, ia mengamatinya dengan penuh rasa
penasaran, hingga akhirnya pelukis itu pergi. Diam-diam Randy mengikuti Wanita
itu sampai ke rumahnya, Randy memberanikan diri untuk bertamu dan bertanya pada
wanita itu, namun wanita itu menyuruh Randy menggambar di hadapannya, setelah
Randy menyelesaikan gambarnya, wanita itu menyuruh Randy untuk datang ke
rumahnya setiap sore untuk berlatih.
Suatu sore, Randy datang ke rumah
wanita itu, dan ternyata yang membukakan pintu adalah Budi, teman SMA nya dulu
yang juga anak dari Wanita pelukis itu, Randy sangat terkejut, ia tak menyangka
bahwa Budi adalah anak seorang seniman lukis yang menjadi gurunya, sebelum ibu
Budi datang, Randy dan Budi banyak berbincang, Randy sempat menyalahkan budi
dalam candaannya karena tak memberi tahu bahwa ibu Budi adalah seniman lukis.
Setelah ibu Budi datang, Randy pun kembali belajar, Budi yang melihat Randy
menggambar pun mengkeritik Randy, “seperti itukah gambaranmu sekarang? Dimana
semangatmu? Dimana perasaanmu saat kau menorehkan pensil itu ke dalam kertas?
kesenian itu tak hanya mengandalkan bakat, perasaan senimannya pun akan ikut
dalam hasil karya yang ia buat, jangan terlalu sombong karena merasa bakatmu
lebih menonjol dari orang lain,kamu saja tak pernah menghargai kemampuanmu
sendiri, bagaimana bisa menghasilkan karya yang berharga? bakat pun perlu di
kembangkan kawan” Randy mematung, tak sepatah katapun terlontar dari bibirnya,
“karena itulah ibu menyuruhmu setiap sore berlatih di sini, sebenarnya ibu
ingin kau menyadarinya sendiri, namun karena Budi telah memberitahumu, ibu akan
memberitahu semua yang harus dimiliki seniman dalam berkarya, yang paling
utama, kamu harus lebih dekat dengan Sang Pencipta, menghargai dan lebih
mengenal subyek dan obyek yang akan di gunakan untuk berkarya, …………..”.
Sepulang dari rumah Budi, Randy
terus merenung, “jadi seperti itu? Hal yang sekecil itu tak pernah ku sadari
karena aku merasa bahwa bakatku melebihi kemampuan orang lain, kesombongan ini
membutakanku, kalau begitu, akan aku mulai semuanya dari awal, akan aku coba
semua yang telah ku pelajari dari mereka yang telah ahli, namun, semua ini tak
akan pernah aku temukan jika taka da campur tangan kedua orang tuaku…
terimakasih Tuhan, Terima kasih Ayah, Ibu, terimakasih kawan-kawan,
Seniman-seniman, dan terimakasih untuk semua yang selalu mendukungku sampai
saat ini.”
#beberapa
tahun kemudian
“ini lah hasil karya Pertama Randy
setelah menyadari kekurangan dalam gambarnya, dia menghadiahkan padaku saat ia
akan berangkat ke paris untuk pameran lukisannya”, Sahabat Randy bercerita pada
murid-muridnya. “ banyak hikmah yang bisa kalian petik dalam cerita terciptanya
lukisan ini, banyak pula pelajaran yang bisa kalian contoh.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar